Deklarasi Adat Pengelolaan Wilayah Perairan Masyarakat Hukum Adat Distrik Misool Timur
Misool, Raja Ampat
Masyarakat hukum adat Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat melakukan deklarasi adat untuk memulai proses pengelolaan wilayah perairan di lingkup masyarakat hukum adat Misool Timur, pada 12 Maret 2020. Deklarasi adat ini menjadi pengejawantahan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta untuk mendukung praktik pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Kegiatan ini didukung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat, Loka PSPL Sorong Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Wilayah perairan masyarakat hukum adat Misool Timur ini meliputi Kampung Folley, Kampung Tomolol, Kampung Limalas Barat, Kampung Limalas Timur, dan Kampung Audam. Wilayah perairan yang diusulkan oleh masyarakat di lima kampung tersebut meliputi wilayah kelola nelayan tradisional masyarakat hukum adat Misool Timur seluas 72.371,9 hektare, dan zona tabungan ikan seluas 19.111,4 hektare. Poin-poin dalam deklarasi adat juga mencantumkan kesepakatan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan, serta pelarangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan potassium.
“Deklarasi ini menjadi momentum bagi kami untuk terus menjaga dan melestarikan sumber daya alam, sehingga hasilnya bisa terus dinikmati hingga anak cucu kami nanti,” tekad Gerardus Moom, tokoh adat dari Kampung Folley.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 tahun 2018 dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Partisipasi aktif masyarakat adat dalam melindungi sumber daya pesisir dan laut sangat dibutuhkan mengingat luas dan kompleksnya isu pengelolaan perairan di Provinsi Papua Barat yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah saja,” jelas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat, Jacobis Ayomi, M.Si.
Suku asli Distrik Misool Timur adalah Suku Matbat dengan enam marga besar, yakni marga Moom, Mjam, Mluy, Falon, Faam dan Fadimpo. Keenam marga tersebut merupakan petuanan yang memiliki hak pengelolaan sumber daya alam di laut dan darat. Salah satu contoh praktik pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang mereka lakukan secara turun temurun adalah penerapan sistem sasi.
“Inisiasi pengelolaan wilayah perairan masyarakat hukum adat Misool Timur ini tidak lepas dari sejarah pemanfaatan sumber daya alam yang telah diterapkan oleh Suku Matbat sejak dulu, di mana alam adalah sumber penghidupan yang dititipkan oleh Tuhan. Salah satu tradisi luhur tentang menjaga alam yang masih kami lakukan hingga saat ini adalah tradisi sasi,” terang Octolius Moom, tokoh adat dari Kampung Tomolol.
Sasi atau praktik pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat adat dengan menutup pemanfaatan sumber daya dan wilayah dalam jangka waktu tertentu masih banyak dikenal di Indonesia bagian Timur, khususnya di Maluku dan Papua. Praktik ini terbilang efektif, karena tingkat kepatuhan masyarakat lebih tinggi dibandingkan kepatuhan terhadap hukum positif atau aturan formal. Untuk pengelolaan wilayah laut, masyarakat Distrik Misool Timur, khususnya di Kampung Folley dan Tomolol, menerapkan praktik sasi teripang.
Data yang dikumpulkan YKAN selama 2013-2019 menunjukkan adanya peningkatan, baik jumlah biota maupun manfaat ekonomi, sejak wilayah sasi dikelola dengan baik. Selama kurun tersebut, saat panen sasi, per kepala keluarga rata-rata mendapat tambahan penghasilan sebesar Rp 2.000.000,- hingga Rp 4.000.000,- dari hasil penjualan teripang.
Di Indonesia, setidaknya ditemukan sebanyak 29 jenis teripang yang diperdagangkan. Sebelas jenis di antaranya bisa ditemukan di wilayah sasi masyarakat dampingan YKAN. Namun, oleh karena pemanfaatan yang berlebih dan permintaan pasar yang tinggi, populasi teripang di banyak tempat di Indonesia terus menurun. Bahkan, beberapa jenis teripang saat ini sudah sangat jarang ditemukan.
Pada masa awal penetapan sasi tahun 2013 di Kampung Folley, hanya 6 spesies teripang yang ditemukan saat melakukan panen sasi. Namun, setelah dilakukan pengelolaan sasi oleh masyarakat, pada 2017 ditemukan 11 jenis teripang, yang merupakan jumlah terbanyak sejak buka sasi tahun 2013. Salah satu contoh teripang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah teripang gosok (Holoturian scabra), yang harganya berkisar Rp 600.000 – Rp. 1.000.000/kg di pasaran lokal.
”Seacara ekologis, teripang memiliki peranan sangat penting dalam menjaga kesehatan ekosistem. Peran tersebut antara lain menetralkan pencemaran perairan (bioremediatory), membantu mengendalikan keasaman laut, dan membantu menyuburkan perairan. Oleh sebab itu, wilayah sasi yang dikelola dengan baik memberikan kontribusi ganda, yaitu perbaikan kondisi ekologi, sosial, dan peningkatan kondisi ekonomi masyarakat,” pungkas Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara.