Almina Kacili

Perspektif

Waifuna: Tiupkan Angin Perubahan di Papua Barat

Papua dan tradisi sasi masih terasa lekat. Ini merupakan salah satu praktik adat untuk mengelola sumber daya alam yang masih diterapkan hingga hari ini. Secara tradisi, sasi biasanya hanya dikelola oleh kaum laki-laki. Namun, sejak 2010, tradisi itu tak lagi berlaku. Mendiang Betsina Hay dan Almina Kacili dari Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, meniupkan angin perubahan di wilayah Bentang Laut Kepala Burung itu. 

Betsina Hay, yang akrab disapa Mama Betsi dan notabene istri kepala Kampung Kapatcol saat itu, bertanya-tanya, mengapa hanya kaum lelaki yang memperoleh hak kelola suatu wilayah perairan. Tidakkah perempuan juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama? 

Bersama dengan kerabatnya, Mama Almina, Mama Betsi terus mengejar mimpi ini. Keduanya berinisiatif mengadvokasi sasi yang dipimpin oleh kaum perempuan, lalu mendirikan sebuah kelompok perempuan yang diberi nama “Waifuna”, dalam bahasa setempat artinya berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa.

“Bisa jadi Waifuna adalah kelompok perempuan pertama di Papua yang memiliki wilayah pengelolaan sasi,” terang Almina Kacili.  Waifuna kemudian mengelola wilayah pengelolaan sasi seluas 32 hektare, yang ditujukan untuk teripang dan lobster. Hak kepemilikan perempuan ini pun diakui sepenuhnya oleh pemerintah kampung, gereja, dan pemegang adat.

Secara garis besar sasi adalah sebuah mekanisme adat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut, dalam jangka waktu tertentu. Selama sasi berlaku, tidak ada yang boleh mengambil sumber daya yang sedang dilakukan sasi di wilayah tersebut hingga tiba saatnya dibuka. 

Dalam perjalanannya, Waifuna mendapat pendampingan pengelolaan sasi berkelanjutan, berlandaskan sains, melalui jalinan kemitraan dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Di antaranya dengan mengembangkan kesepakatan sasi yang harus dipatuhi anggota kelompok seperti hanya boleh mengambil teripang atau lobster yang sudah dewasa dan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, ketika masa panen (buka sasi) tiba, hasil panen tidak benar-benar habis. Populasi teripang dan lobster pun terjaga.

Patroli yang dilakukan di wilayah sasi juga menyebabkan tidak ada lagi kasus pemboman ikan atau cara penangkapan ikan destruktif lainnya. Dengan demikian, kondisi laut tetap terjaga. Ini menjadi catatan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim, mengingat ekosistem laut mampu menyerap 25 persen emisi karbon. 

Perubahan iklim, bagi mama-mama di Kapatcol, bukanlah sekadar jargon. Kini mereka harus berhadapan dengan dampak perubahan iklim dalam keseharian. "Beberapa tahun terakhir, ombak besar, angin kencang, dan hujan harus kami hadapi. Saat harus patroli di wilayah sasi, ada ombak dan angin kencang,” terang Almina. 

Meski Betsina Hay telah berpulang pada 2015, Kelompok Waifuna tetap memiliki kekuatan yang solid, sehingga pada 2019, pemerintah kampung setempat memberikan perluasan areal sasi menjadi 215 hektare. Hasil panen yang diperoleh kelompok Waifuna pun berhasil menjadi jaring pengaman keuangan bagi seluruh masyarakat Kampung Kapatcol. Ya, dana panen tak hanya dinikmati para mama—sebutan khas untuk kaum ibu di Papua, tetapi juga digunakan untuk membantu kebutuhan pendidikan (memberi beasiswa pada anak kampung yang berpotensi), kesehatan, maupun membantu gereja ketika dibutuhkan. 

Melalui sasi, Waifuna menyalurkan semangat para perempuan Kampung Kapatcol dalam meningkatkan kekuatan ekonomi komunitasnya. Melalui sasi, Waifuna menjadi pembuka pintu membangun generasi yang lebih sehat dan lebih berdaya. Melalui sasi, keindahan dan kekayaan ibu pertiwi tetap terjaga. 

“Perempuan juga harus berada di garis depan dalam menjaga kelestarian alam. Hal lain yang tak kalah penting adalah dengan menanamkan prinsip-prinsip pelestarian alam di lingkungan keluarga,” pungkas Almina.