Munara beba
Keterangan Foto Enam ketua keret (marga) yang dijuluki sebagai Mananwir er di MHA Byak Karon. © Nugroho Arif Prabowo/YKAN

Perspektif

Munara Beba: Cara Suku Biak Karon Menjaga Laut

Oleh: Maria Adityasari, Communication Specialist YKAN & Nugroho Arif Prabowo, Capacity Development Technical Lead YKAN

Quote

Kobe oser, kosambrab ma kobawes. Kami bersatu, kami kuat, kami membangun.

Ujaran semangat dalam bahasa Biak ini menghiasi sudut-sudut lapangan terbuka di Kampung Werur, Distrik Bikar; dan Kampung Sauran, Distrik Sausapor, Kabupaten Tambrauw, Sorong, Papua Barat Daya. Torehan kalimat pada baliho raksasa itu menyambut setiap orang yang memasuki arena “Festival Munara Beba Byak Karon”, yang berlangsung selama 22-25 Maret 2023.

Tepuk suara tifa yang ritmis mengawali sayup suara nyanyian dalam bahasa setempat. Ratusan pengunjung menuju sisi kanan panggung, mencari sumber suara. Sekelompok pemuda dalam balutan pakaian adat dan berhiaskan seni lukis khas Biak terlihat menderapkan kaki secara serentak. Menari berputar sambil tetap menepukkan tifa di tangan. Menabuhkan semangat seiring tempo yang semakin cepat. Langkah kaki pun berganti lompatan tinggi penuh aksi. Atraksi ini menjadi pemula. Pertanda Festival Munara Beba telah dimulai.

Keterangan Foto Keanekaragaman kekayaan adat Biak Karon. © Nugroho Arif Prabowo/YKAN

Selama empat hari, setiap pengunjung diajak menyelami ragam kekayaan adat Biak Karon yang ditampilkan lewat ragam stan pameran maupun aneka perlombaan. Ada lomba dayung perahu tradisional, memancing tradisional, Tari Yosim Pancar, lagu rakyat, seni lukis tubuh, dan pidato dalam Bahasa Biak.

Baca juga: Kelola Hutan Berkelanjutan Demi Bumi Tetap Nyaman

Warga Biak Karon diajak kembali menggali memori tentang ragam adat dan tradisi leluhur mereka, orang Biak, yang mendarat di Tanah Karon. Ini adalah sebutan orang Biak untuk seluruh wilayah pantai utara Kabupaten Tambrauw. Mereka menjelajah lautan dan tiba di wilayah ini pada abad 16.

Hingga hari ini, ada enam keret (marga) Biak Karon, yakni Mar, Mambrasar, Paraibabo, Yappen, Mirino, dan Mayor. Masing-masing kelompok keret pun tampak antusias mengikuti setiap perlombaan yang ada.

© Nugroho Arif Prabowo/YKAN
© Nugroho Arif Prabowo/YKAN

“Untuk kali pertama, seluruh suku Biak Karon bersatu dan baku bantu (saling membantu) untuk menyiapkan segala sesuatu. Kami berterima kasih pada Yayasan Konservasi Alam Nusantara/YKAN, yang telah mengupayakan hari ini dapat terjadi,” tegas Hans Mambrasar, tokoh masyarakat Biak Karon, melalui corong pengeras suara genggam (megafon) yang selalu di tangannya.

Lewat pengeras suara itu, ia mengobarkan semangat para peserta lomba, sekaligus tak henti mengingatkan bahwa momen ini bukan untuk menunjukkan kelompok keret yang paling hebat, melainkan untuk memaknai kembali adat dan tradisi leluhur yang berangsur hilang dari kehidupan keseharian.

Dalam waktu dua minggu, tiap-tiap keret membuat perahu tradisional. “Tiap keret punya motif perahu tersendiri dan memiliki makna khusus. Burung laut, misalnya, yang menjadi simbol Keret Mirino dan memiliki makna sebagai penunjuk arah. Atau, ular laut yang menjadi lambang Keret Paraibabo dan pada masa lalu menjadi penanda kemenangan dalam perang. Jika ular muncul ke permukaan laut lalu tenggelam lagi sebelum berangkat berperang, artinya kita akan menang. Tapi jika hanya berputar-putar saja di tempat, artinya kita tidak boleh berangkat berperang,” terang Falen Paraibabo, Ketua Keret Paraibabo.

© Nugroho Arif Prabowo/YKAN

Sepanjang festival budaya ini, berbagai seni kriya dan kuliner khas tradisional juga dipamerkan. Di antaranya adalah produk olahan dari kelompok perempuan dampingan YKAN.  Ada lima kelompok perempuan binaan yang didampingi, tersebar di Kampung Werwaf yakni Kelompok Mambesak, Kampung Suyam yakni Kelompok Mandawan dan Kelompok Mar, Kampung Bukit dengan Kelompok Kobe Oser.

YKAN membantu mengembangkan produk-produk olahan agar dapat memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dengan membuat variasi rasa, diversifikasi produk, maupun dari sisi kemasan dan bentuk produk yang dijual. Di antaranya adalah ragam produk olahan dari kasbi (singkong), minyak kelapa, minyak VCO, dan sambal ikan. Pengembangan produk ini tidak lain berdasarkan kekayaan sumber daya alam yang tersedia di lingkungan setempat.

© Maria Adityasari/YKAN

“Tambrauw ini kaya dengan ikan tuna. Daripada (kondisi) ikan jadi rusak karena jarak ke kota jauh dan kendala listrik untuk penyimpanan, lebih baik dibuat jadi sambal yang bisa lebih tahan lama dan punya nilai jual,” ujar Salomina Tjoe, Livelihood Officer YKAN, memberi contoh. Di samping memberi pelatihan untuk pengembangan kapasitas, kelompok perempuan dampingan ini juga mendapatkan pelatihan literasi keuangan dan kepemimpinan perempuan.

Meneguhkan tradisi dan konservasi

Pengembangan kawasan konservasi perairan di Kabupaten Tambrauw ini merupakan bagian dari area konservasi perairan Maksegara (melintasi Kabupaten Sorong dan Tambrauw) seluas 135.302 hektare yang didukung oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat. Berkolaborasi dengan YKAN dan para mitra pembangunan lainnya, Pemerintah Provinsi Papua Barat berkomitmen mendampingi masyarakat hukum adat (MHA) dalam mengembangkan dan mengelola wilayah kelola adatnya secara berkelanjutan.

MHA Biak Karon pun telah mendapat hak mengelola wilayah perairan seluas 12 ribu hektare berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 13 tahun 2019. Dan festival budaya ini menjadi bagian dari penguatan pengelolaan wilayah perairan MHA Biak Karon.

Dalam kesempatan ini, YKAN juga menyerahkan sebuah dinggi (perahu cepat) untuk mendukung kegiatan pengawasan wilayah perairan MHA. Perahu yang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Pengawas Farus Sem ini menjadi cara untuk melindungi wilayah perairan MHA dari praktik perikanan yang tidak ramah lingkungan dan melakukan penangkapan berlebih.

Keterangan Foto Farus Sem. Diambil dari Bahasa Biak Karon dan Abun (suku asli wilayah Tambrauw), yang berarti penjaga laut. Tampak dalam foto Bird’s Head Seascape Senior Manager YKAN Lukas Rumetna bersama dengan Ketua Suku Byak Karon Yunus Rumansara. © Nugroho Arif Prabowo/YKAN

Gelaran festival ini ditutup dengan pengukuhan komitmen warga Biak Karon dalam menjaga kelestarian laut melalui upacara tutup sasisen (sasi). Sasi tersebut dilakukan untuk melindungi biota yang ada di sekitarnya, yakni udang, teripang, kelelawar, penyu, karang, bia mata bulan, dan lola.

© Nugroho Arif Prabowo/YKAN
© Nugroho Arif Prabowo/YKAN

“Memanfaatkan alam dengan bijak, itu yang diajarkan leluhur kami. Lewat festival ini dan kembalinya tradisi sasi, menjadi upaya bagi kami untuk senantiasa merawat alam untuk hari ini hingga nanti,” ujar Ketua Dewan Adat Suku Biak Karon Yunus Rumansara mengakhiri.