Misool, Raja Ampat

Perspektif

Kolaborasi: Kunci Konservasi di Bentang Laut Kepala Burung Papua

Kawasan Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) di Papua Barat menjadi wilayah prioritas upaya konservasi—tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia. Hingga tahun 2020, upaya konservasi laut yang dipimpin oleh Pemerintah Indonesia bermitra dengan masyarakat adat, universitas, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah berhasil menetapkan lebih dari 23,6 juta hektare kawasan konservasi. Termasuk di dalamnya wilayah seluas 5,2 juta hektare melalui penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di BLKB.

Tingginya keanekaragaman hayati biota laut di BLKB menjadi pemicu pentingnya dilakukan konservasi. BLKB merupakan rumah bagi lebih dari 1.700 spesies ikan di dunia, serta rumah bagi lebih dari 75% jenis karang lunak dan keras di dunia. Perairan BLKB juga menjadi habitat spesies karismatik seperti manta, dugong, dan mamalia besar seperti paus.

Baca juga: Pengawasan Berbasis Masyarakat di Misool Bagian Utara Diperkuat Guna Mencegah Aktivitas Penangkapan Ikan yang Merusak

Selain keanekaragaman hayati laut, BKLB telah menopang kehidupan kurang lebih 52.000 orang yang bermukim di pesisir dan laut. Sekitar 70% sumber protein dan 70% pendapatan masyarakat pesisir berasal dari sumber daya laut (Glew, 2015).

Dalam menghadapi beragam tantangan melindungi wilayah perairan di BLKB, YKAN bersama dengan mitra pemerintah, Universitas Papua (UNIPA), LSM lain, dan masyarakat adat, menerapkan pendekatan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) atau Marine Protected Area yang diimplementasikan dengan sistem zonasi. Lewat pembentukan KKP, kawasan yang dinyatakan sebagai wilayah perairan, termasuk flora, fauna, corak budaya, dan sejarah yang berkaitan, dilindungi secara hukum maupun cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya.

KKP terbesar di BLKB terletak di Teluk Cenderawasih dengan luas 1.453.000 ha di bawah pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Diikuti dengan wilayah Selat Dampier 353.551 ha, Misool Selatan 346.270 ha, Sabuda Tataruga 233.259 ha, Mayalibit, Raja Ampat 49.451 ha, dan Ayau 99.350 ha. Saat ini, YKAN bersama dengan Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sorong, Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah daerah dan masyarakat adat, juga menginisiasi kawasan konservasi baru di Maksegara yang melintasi Kabupaten Sorong dan Tambrauw, juga di Misool Utara. Untuk memastikan tingkat keberhasilan dan efektivitas pengelolaan Kawasan, YKAN bersama mitra terus melakukan monitoring ekologi dan sosial secara berkala yang dipimpin oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNIPA.

Keterangan Foto Terompet cangkang triton, yang ditiup oleh salah seorang pemuda Misool. © Nugroho Arif Prabowo/YKAN

Hasil pemantauan

Kegiatan pemantauan dampak sosial dan ekologi akibat penerapan KKP dilakukan di sekitar 300 titik pengamatan dan lebih dari 100 desa di wilayah KKP maupun di luar wilayah KKP. Jumlah titik pemantauan ini merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan ekoregion laut lainnya di Indonesia.

Berdasarkan hasil pemantauan, status dan tren perubahan kondisi tutupan karang keras memperlihatkan kondisi beragam di tiap-tiap KKP. Secara keseluruhan, tutupan karang keras meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah ini berada dalam kondisi yang lebih baik daripada di banyak ekosistem terumbu karang secara global (Jackson et al. 2014). Hal ini sekaligus menjelaskan kondisi perairan yang sehat. Kawasan konservasi yang efektif menjamin suksesnya proses rekruitmen karang baru yang membentuk terumbu karang.

Karang
Keterangan Foto Karang Staghorn yang sehat dan ikan karang di terumbu karang. © Awaludinnoer/YKAN

Selain karang, secara keseluruhan, status dan tren perubahan biomassa perikanan kunci (kerapu, kakap, bibir tebal/manis) di BKLB stabil. Namun, di beberapa KKP, seperti Teluk Triton, mengalami penurunan. Hal ini disebabkan masih banyaknya nelayan luar yang memancing di wilayah KKP menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan (Pakiding et.al 2019)

Sementara, untuk grafik kelompok ikan fungsional (kakatua, kulit pasit, dan baronang), mengalami peningkatan, meski tidak signifikan dibandingkan dari data dasar. Kenaikan signifikan terlihat di KKP Selat Dampier, yang merupakan pusat kegiatan wisata bahari di Raja Ampat. Data tersebut menunjukkan komposisi bentik meningkat, spesies perikanan kunci dan kelompok fungsional ikan stabil.

Hasil yang baik ini menggambarkan sumbangan baik KKP di wilayah ini. Sejak kegiatan konservasi diterapkan, banyak program pengembangan kapasitas masyarakat, terutama mengenai pengembangan sumber pencaharian alternatif telah dilakukan. Oleh karena itu, banyak warga yang tidak lagi memancing. Sebelum KKP dibentuk, mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan. Setelah KKP ditetapkan, kawasan wisata mulai bermunculan dan banyak warga beralih profesi menjadi pemandu wisata. Hal ini mengakibatkan adanya penurunan profesi nelayan di wilayah tersebut. Meskipun menurun, di sisi lain hal ini memperlihatkan adanya dampak positif lain, yaitu munculnya mata pencaharian baru di kawasan BKLB.

Berdasarkan survei sosial di wilayah BKLB, data yang diperoleh sejak 2010 hingga 2019 dianalisis untuk menghasilkan status dan tren perubahan yang terjadi berdasarkan empat indikator, yakni ekosistem, kesejahteraan manusia, status efektivitas pengelolaan, dan tata kelola (Pakiding et.al, 2019).

Misool
Keterangan Foto Salah satu kampung nelayan di Misool Raja Ampat. © Awaludinnoer/YKAN

Perubahan iklim, pandemi, dan tekanan lain yang berkembang pesat mengharuskan kita memperkuat sinergi antara konservasi dan sumber penghidupan masyarakat untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan dengan cara yang lebih nyata. Pembelajaran yang kami dapat adalah pentingnya membangun ketahanan sosial dan ekologis. Kita harus menerapkan inovasi dalam upaya melindungi masa depan ekosistem laut dan masyarakat yang bergantung padanya, serta mengelola secara efektif dan lestari untuk kehidupan yang lebih baik

YKAN bersama beberapa pihak juga mengukur dampak KKP untuk memahami bilamana perubahan yang dilihat merupakan dampak dari intervensi KKP di suatu wilayah. Dari hasil sementara berdasarkan analisis dampak yang sedang dikerjakan, banyak masyarakat memiliki perahu dari bantuan program pemerintah di dalam KKP maupun di luar KKP. Selain itu, juga pada program dana desa, yang menyediakan peluang lapangan kerja baru di desa, baik dalam KKP maupun di luar KKP.

Proses pemantauan ini melibatkan banyak pihak, mulai dari masyarakat adat, universitas, LSM, pemerintah, dan lembaga donor. Di kawasan BLKB sendiri, proses pemantauan dilakukan setiap dua atau tiga tahun sekali untuk mengukur perubahan dan dinamika yang terjadi, baik dari sisi ekologi maupun sosial.

Upaya konservasi di BLKB perlu terus digalakkan agar kekayaan ragam hayatinya tetap terjaga hingga generasi di masa depan. Untuk ini, perlu adanya komitmen dan kolaborasi bersama dalam melindungi dan menjaga wilayah BLKB, sekaligus memastikan rekomendasi kebijakan dari hasil riset diakomodasi dalam rencana pengelolaan KKP.